Di sudut kecil sebuah kedai bernama Titik Dua, Gozo78 duduk sendiri, seperti biasanya. Hujan baru saja reda. Sisa rintiknya masih menempel di kaca jendela, menciptakan pola acak yang disukai Gozo. Katanya, itu seperti puisi yang belum selesai—basah, samar, tapi jujur.
Ia membuka laptopnya. Seharusnya ia menulis artikel untuk klien sore ini, tapi pikirannya macet. Bukan karena cuaca. Tapi karena dia.
Perempuan dengan jaket abu-abu dan buku usang di tangannya. Namanya Kirana. Sudah dua minggu Kirana duduk di meja yang sama, tepat dua kursi dari tempat Gozo biasa duduk. Dia tak pernah memesan kopi yang sama. Kadang latte, kadang affogato, kadang hanya air putih dan sepotong croissant. Tapi satu hal selalu sama: senyumnya yang pelan, dan sorot matanya yang seolah menyimpan musim semi di tengah hujan.
Hari itu berbeda.
Kirana berdiri, lalu berjalan pelan ke arah Gozo. Ia tersenyum. “Kamu penulis ya?” tanyanya, sambil melirik laptop dan buku catatan Gozo yang penuh coretan kecil.
Gozo sedikit gugup. “Iya… atau mencoba jadi.”
Kirana duduk tanpa diminta, lalu berkata, “Aku suka cara kamu melihat jendela. Kamu seperti sedang menulis sesuatu, bahkan saat kamu diam.”
Gozo tertawa kecil. “Kamu pembaca ya?”
“Pembaca orang, mungkin,” jawab Kirana, geli.
Mereka tertawa. Canggungnya cair oleh aroma kopi dan sisa hujan.
Obrolan yang tadinya hanya basa-basi berubah menjadi percakapan tentang kata-kata, kenangan, lagu favorit, dan rasa takut akan kehilangan. Gozo tak menyangka, di balik halaman buku-buku yang ia tulis, ternyata ada halaman baru yang muncul sore itu—halaman yang tak pernah ia rencanakan.
Saat langit mulai gelap, Kirana berdiri. “Aku harus pergi.”
Gozo mengangguk. “Besok ke sini lagi?”
Kirana tersenyum. “Kalau takdirnya begitu.”
Sebelum pergi, ia menuliskan sesuatu di kertas tisu dan menyelipkannya di samping cangkir kopi Gozo.
Setelah Kirana pergi, Gozo membukanya. Tulisan tangan kecil itu berkata:
“Kalau kopi dan kata-kata bisa menyatukan kita, mungkin kamu tak perlu menulis sendiri lagi. —Kirana”
Dan sore itu, Gozo78 akhirnya menulis. Bukan untuk klien. Bukan untuk proyek. Tapi untuk Kirana, untuk hujan, dan untuk segala yang tak bisa ia ucapkan… kecuali lewat cerita.